"Where are you Hana? Why did you leave me alone?" Pertanyaan yang seperti peluru itu telah menembak Hana. Seketika dia terdiam kaku. Senyum yang menghiasi bibirnya tadi hilang dengan tiba-tiba. Aku menyesal karena tak bisa menahan pertanyaan itu agar tak keluar secara tiba-tiba. Namun semua sudah terlambat. Hana tampak menahan tangisnya dengan cara menggigit terus bibirnya. Wajah ayu di hadapanku mengeluarkan isakan pertamanya. Kemudian aku mengingat lagi memori masa mudaku 7 tahun lalu. 7 tahun lalu tepatnya waktu bersama Hana.
Ternyata jiwa travelling ayah menurun padaku. Sekarang aku berjalan-jalan di Hongcouver, yaitu daerah pecinaan di Vancouver. Aku sedang berlibur untuk menghilangkan kepenatan sehabis menyelesaikan tugas arsitek di kampusku. Sekolah di University of Oxford membuatku harus bersaing dengan mahasiswa-mahasiswa yang otaknya cemerlang. Sudahlah, lupakan saja tugas-tugas sialan itu. Tujuanku ke sini kan untuk berlibur. Karena terlalu melamun, aku menabrak seorang gadis yang tengah sibuk membawa kantong kertas besar yang isinya bahan-bahan makanan. Reflek aku segera menolong gadis itu memungut bahan belanjanya yang tercecer. Setelah semua terkumpul aku mencoba membantu gadis itu berdiri.
"Oh, sorry. But I can do it." Gadis itu menolak bantuanku dan mencoba berdiri sendiri. "Aaw!" erang gadis itu. Aku menuntunnya berjalan ke kursi taman terdekat. Sepertinya kaki gadis itu terkilir akibat tabrakan tadi. "I'm oke." Gadis itu mencoba menyakinkanku kalau dia baik-baik saja. Aku tahu. Sebenarnya dia tidak baik-baik saja. Jalannya agak oleng dan keseimbangannya tidak stabil. Akhirnya aku menyusul langkah dan menuntunnya berjalan. Gadis tersebut kaget dengan menunjukkan ekspresi mulut terbuka.
"Um, tolong antarkan aku ke restoran di sudut jalan itu." Ia menunjuk sebuah bangunan berwarna kuning cerah. Hanya beberapa meter, aku sanggup mengantarkannya sampai ke situ.
"Thank you very much. I'm so sorry," ucapnya seraya membungkuk dalam-dalam.
"No problem for me. Is this your restaurant?"
"Oh, ini restoran keluargaku. Sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Sekarang papaku yang mengelolanya. Kami menyediakan makanan negara di Asia seperti Indonesia, Malaysia, Chinese, dan Jepang."
"Douzo. Silahkan. Ngomong-ngomong siapa namamu? Aku Li Fenfang, nama panggilanku Hana." Gadis yang bernama Hana itu memngulurkan tanganya.
"I'm Kevin Alexander. Just call me Kevin," kataku kemudian menjabat tangan putih Hana. Kemudian Hana menuntunku ke salah satu meja yang masih kosong yang letaknya di dekat jendela menghadap trotoar Honcouver yang selalu ramai. "Mau pesan apa?"
"Kau saja yang memesan. Kau yang selalu tahu makanan yang paling lezat di sini."
"Baiklah. Akan kupesankan langsung ke koki." Hana beranjak pergi sambil menenteng belanjaannya yang tadi sempat tercecer ke tanah. Tak lama kemudian Hana datang dan duduk kembali ke kursinya tadi.
"Sebentar lagi pesananmu datang. Kuharap kau menikmatinya. Mau kutemani?" tanyanya dengan mata berbinar, seperti memancarkan ribuan kembang api yang penuh warna.
"Dengan senang hati, Hana. Kenapa nickname mu Hana? Padahal namamu Li Fenfang?" tanyaku.
"Aku blasteran Cina dan Jepang. Mama orang Jepang sedangkan papa orang Cina. Li Fenfang artinya harum bunga dalam bahasa Cina, sedangkan Hana artinya bunga dalam bahasa jepang. Karena artinya sama-sama bunga nama panggilanku Hana, supaya tidak meninggalkan unsur Japanese dari mamaku," jawabnya dengan senyum bulan sabitnya yang manis.
"Apakah kau tahu seluk-beluk tempat-tempat menarik di Vancouver?" tanyaku sambil menikmati pesanan yang sudah diantar ke meja kami.
"Yang aku tahu Hongcouver, Stanley Park, Gastown, dan Granville Island." Hana mengunyah sukiyakinya dengan lahap. Pipinya sangat menggemaskan ketika mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya.
Aku berjalan di trotoar Hongcouver menuju rumah Hana yang berada di sebelah restoran keluarganya. "Morning," sapanya saat aku sudah berada di beranda rumahnya. Aku hanya menunjukkan seulas senyum simpul. Di sebelah Hana sudah ada dua sepeda. "Menurutku, bersepeda lebih menyenangkan daripada harus berjalan kaki dan naik angkutan umum yang sesak." Jawabannya seperti membaca pikiranku saja. Penampilan Hana pagi ini sangat segar. celana jeans hitam pendek diatas lutut, hoodie putih bergambar pucca, sepatu kets warna biru mudanya menambah kesan sejuk saat dilihat. Twintail-nya mempermanis wajahnya yang oriental.
"Tujuan pertama kita adalah Stanley Park. Kamu tidak keberatan?" Pertanyaan Hana membawaku pergi dari alam bawah sadarku.
"Sama sekali tidak. Kamu adalah pemanduku. Aku mempercayakan semuanya padamu," jawabku. Seketika senyumnya mengembang dengan sempurna. Oh Tuhan, senyum itu sangat memikat. Aku bertemu dia baru kemarin, namun senyumnya makin lama makin menggodaku. Lagi-lagi aku berpikiran yang tidak-tidak. Aku segera menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan pikiran itu dari otakku agar tidak menjalar ke semua bagian otakku. Aku bisa gila oleh gadis itu.
"Hei, are you alright?" Hana mengibaskan tangannya tepat di wajahku.
"Yes, I'm right. So, are you ready?" Tanpa menjawab pertanyaanku Hana langsung memngendarai sepedanya dengan kecepatan cukup tinggi. Aku tertawa sejenak, dan menyusulnya.
***
"Nah, kita sampai! Stanley Park, danau yang dikelilingi taman yang indah, totem berdiri tegak di sepanjang jalan, kano-kano yang mengelilingi danau, tempat yang bagus untuk piknik." Hana berkata seperti seorang pemandu profesional, bagiku. Dia merapikan ikatan twintail-nya sebelum menggerakkan pedal sepedanya. Aku menikmati pemandangan Stanley Park dan mengendarai sepedaku dengan kecepatan pelan nan santai. Hana? Dia sudah mendahuluiku, sangat jauh malah. Mau tak mau aku harus mempercepat laju sepedaku. Hana menghentikan sepedanya di salah satu kursi taman. Ia mengambil Canon 5D mark II dari tas ransel polkadot. Ternyata dia sedang mengambil gambar sebuah cahaya yang menyusup di balik pohon-pohon oak. "Kelihatannya lebih bagus jika daun-daun oak ini berwarna jingga," celutuknya.
"Aku rasa iya. Namun, sekarang musim semi. Daun-daun jingga kan hanya ada saat musim gugur," kataku.
"Kamu tahu, kenapa aku suka musim gugur?" Hanna bertanya sambil menutup lensa kameranya. Aku tersenyum simpul dan menggelengkan kepala.
"Aku suka saat daun-daun oak berwarna jingga kemerahan, mengingatkanku pada bendera Kanada. Angin musim gugur yang sepoi-sepoi dan tak sedingin waktu musim dingin. Apalagi saat angin menyentuh rambutku dengan lembut dan menerbangkanya dengan anggun." Aku memandang mata Hana yang berwarna hitam teduh. Wajahnya sungguh menarik saat memandang danau yang ada di depan kami. Tangan putihnya ia silangkan di pangkuannya.
"Namun, aku juga suka musim-musim yang lain. Musim semi, memiliki arti sukacita yang besar akan penantian yang panjang. Sepertinya alam sangat bersukaria saat musim semi tiba. Musim panas, memiliki arti penantian akan kesejukkan angin musim gugur. Memang orang banyak mengeluh ketika musim panas. Tapi jika musim panas tidak ada petani tidak akan cepat menuai hasil tanamnya." Hana berhenti sejenak dan memamerkan senyum bulan sabitnya. Oh Tuhan, senyumnya sangat sempurna dengan eyes smile yang dimilikinya.
"Lalu musim gugur. Bagiku musim ini memiliki arti kegelapan yang berwarna. Langit musim gugur memang sering mendung, namun warna dedaunan yang jingga kemerahan dapat menggantikan suasana mendung pekat tersebut menjadi suasana yang hangat nan nyaman. Ketika angin musim gugur menerbangkan daun-daun jingga kemerahan itu, seperti mengantarkan kehangatan kepada orang-orang." Hanna mengambil jeda sejenak untuk menghirup udara dalam-dalam.
"Terakhir musim dingin. Seperti musim panas, banyak orang yang mengeluh saat musim ini hadir. Banyak saljulah, badai saljulah, toko-toko tutuplah, jalanan licinlah, dan keluhan-keluhan lain. Namun di balik semua itu musim dingin memiliki arti, pengharapan akan musim semi. Musim dingin menyadarkan kita akan berharganya sebuah penantian yang amat besar. Selain itu yang kusuka dari musim dingin adalah kemeriahan natal waktu berlibur ke Vancouver. Festival musim dingin selalu diadakan, mengubah suasana dingin menjadi suasana yang amat hangat," ucap Hana. Aku berdiri dan menghampiri sepedaku, aku ingin bersepada beberapa meter saja. Saat aku akan melaju Hana menatapku. Wajahnya sangat ayu dengan tatapan mata amat lembut dan menawan. Damn, sepertinya aku tak kuasa memalingkan wajahku sedikit pun dari parasnya. "Bersenang-senanglah, aku menunggumu di sini." Kata-kata yang diucapkan Hana barusan seperti menyihirku.
***
Menjelajah Stanley Park dengan bersepada memang menyenangkan. Aku meneguk air mineral yang kubawa. Hana sepertinya sedang menulis sesuatu di sebuah buku. Diam-diam aku mencuri lihat buku yang sedang ia pegang. "Hei, kamu nggak boleh lihat ini. Pokoknya rahasia banget," kata Hana.
"Emang isinya apaan sih?"
"Ada saatnya kamu tahu kok." Dia tersenyum kemudian memasukkan polaroid instaxnya dengan hati ke ransel polkadot.
"Baiklah, tour kita lanjutkan. Kita ke Granville Island. Di sana ada pertunjukan yang wajib kau tonton."
***
Granville Island sunggu tempat yang magis! Aku dan Hana baru saja keluar dari gedung pertunjukkan. Kami menonton drama, melihat-lihat galeri seni 2 dimensi dan 3 dimensi. Saat di galeri seni, kamera Hana hampir saja dirampas petugas keamanan, karena ada peraturan dilarang memotret. Keluar dari galeri Hana mengerucutkan bibir merah berry nya dan menggembungkan pipinya seperti ikan fugu. Aku tertawa pelan. Hana sunggu menggemaskan jika wajahnya seperti itu. Tampak imut sekali.
"Uh, kenapa kamu tertawa seperti itu? Memang aku seperti badut ya?" tanyanya dengan nada kesal. Bukannya diam aku malah makin tertawa. Gadis ini sunggu menghiburku.
"Dasar laki-laki, semua sama saja," ucap Hana sambil mempercepat sepedanya anggar tidak tersusul olehku.
***
Matahari sudah tenggelam saat kami berdua menapakkan kaki kami di trotoar Gastown, kota tua Vancouver. "Aku sengaja memilih Gastown sebagai tour kita yang terakhir. Gastown sangat indah waktu malam hari, dan jarak Gastown dengan Hongcouver dekat, jadi kita tak usah terburu-buru menikmati Gastown," kata Hana. Sungguh pemikiran bagus, bagiku.
Kami menitipkan sepeda kami di salah satu penitipan kendaraan. Kata Hana lebih menyenangkan menikmati Gastown dengan berjalan kaki. Langkah kaki kami menapak di jalan bebatuan Gastown. Di sepanjang Gastown terdapat toko, restoran dan sebuah pub. Mengetahui ada pub di sini hasratku untuk minum alkohol mulai nampak.
"Maukah kamu minum-minum sebentar bersamaku? Aku yang traktir kok," ajakku. Hana menatap pub yang kutunjuk, kemudian menatapku dengan mata berbinar.
"Em... aku nggak biasa, mencium bau alkohol saja membuatku sangat mual apalagi meminumnya. Sorry, I can't" Mata Hana yang berbinar-binar membuatku tak tega untuk memaksanya mencoba hal yang paling tidak disukainya. Kami kembali berjalan-jalan di sepanjang trotoar Gastown. Ternyata Hana mengajakku ke pusat Gastown, yaitu
steam clock, sebuah jam yang tidak begitu besar. Semacam Bigben di London. Aku memandangi jam itu dengan saksama, terlihat unik dengan gemerlap lampu-lampu pertokoan dan lampu jalan. Di sekitar jam terdapat jalur khusus untuk tream. Aku terbuai dengan suasana Gastown yang unik.
"Kamu sudah lapar?" Tanya Hana.
"Sepertinya sudah, apakah kamu tahu tempat yang menjual makanan yang unik dan lezat?"
"Tentu saja. Kamu mau apa?"
"Aku ingin makan di restoranmu saja."
"Are you sure? Berarti kita harus bersepeda lagi dong"
"Aku siap mengikuti saran pemanduku."
"Oke. Karena kamu mengikuti saran pemandumu, bagaimana jika kamu menemaniku mencari novel di toko buku itu." Hana menunjuk sebuah toko buku.
Libriarie Raffin nama toko buku tersebut. Hana menjelajahi beberapa rak dan berhenti di bagian novel-novel Sydney Sheldon. "Yeay! Aku menemukannya!" teriaknya.
"Kamu penggemar novel?" tanyaku.
"Hontouni! Aku sangat suka novel." Hana berbicara dengan bahasa ibu negara ayahnya.
"Kamu sudah lapar kan? Ayo, aku kasihan melihatmu seperti itu." Hana berjalan cepat ke meja kasir.
***
"Kamu sebentar lagi kembali ke London?" tanya Hana. Sekarang aku sedang duduk di salah satu bangku restorannya. Menghirup secangkir teh hijau membuat syaraf-syarafku yang tegang menjadi rileks. Ya, aku baru saja memberitahu Hana bahwa jam 12 siang nanti aku akan take off ke London. Masa-masa liburanku sudah selesai dan saatnya bertemu dengan Mr. Louise dan tugas-tugasnya yang bisa membuatku terkena vertigo.
"Hati-hati ya," ucap Hana sambil tersenyum. Reaksinya biasa-biasa saja. Padahal aku ingin sekali dia mengucapkan 'aku pasti akan merindukanmu' dengan nada tak rela. Damn, khayalanku berkelana sudah terlalu jauh.
"Aku yakin kita pasti bertemu lagi, di London." Hana mengucapkan itu dengan gembira. Ha? Bertemu dengannya lagi? di London?
"Iya, aku juga akan ke London, tapi tidak sekarang. Masa liburku masih tersisa 2 hari, Aku akan kembali besok."
"Benarkah kita akan bertemu?"
"Who knows? Kita hanya bisa yakin dan berusaha, Kevin Alexander."
***
Perjalanan Vancouver hingga ke London berhasil menguras setengah tenagaku. Aku tidur sangat pulas waktu di pesawat hingga aku tidak makan. Sepertinya aku tengah mengalami jetlag, pikirku. Tak biasanya aku loyo setelah pulang dari backpacker. Mungkin aku terlalu memikirkan maket brengsek yang harus diselesaikan seminggu lagi. Persetan dengan semua itu, apalagi Mr. Louise. Sebagus apapun maket yang dibuat jika tidak selesai dalam waktu yang disepakati tanpa basa-basi Mr. Louise langsung memberi skor F. F? Mendapat skor C sekali membuatku ling-lung tidak karuan, apalagi skor F yang levelnya sangat sangat buruk. Aku harus menghilangkan lazy syndrom ku terhadap hal-hal arsitektur. Lagi pula dari dulu aku sangat mendambakan masuk ke jurusan arsitektur University of Oxford, lulus dengan gelar Cum Laude, dan segera memperoleh pekerjaan yang mapan, namun tidak meninggalkan hobi bacpacker ku.
"Keadaanmu berantakan sekali, sobat. Baru pulang?" tanya Antoni, teman satu jurusanku yang sekarang tengah menemani aku makan fish and chip di cafetaria kampus. Antoni tidak hanya temanku. Dia menyandang berbagai gelar saat bersamaku. Aku bisa menyebutnya sebagai teman, sahabat, pembantu yang setia, hewan peliharaan yang selalu patuh, dan orang tolol yang langsung bilang 'iya' saat aku memerlukan bantuan mengerjakan tugas Mrs. Andrea dan dosen lainnya. He's always faithfull, with me.
"Seperti yang kau bilang. Aku terkena jetlag. Aku ngantuk sekali. Kau lihat sendiri kan Mr. Louise hampir melempariku dengan cerutunya, lagi," keluhku dengan nada menggantung dan loyo karena masih mengantuk. Kopi hitam pekat, kiriman dari mama tidak berhasil menghilangkan kantuk yang kualami. Oh Tuhan, aku tengah menderita apa ini?
"Hey Vin, aku tak bisa menemani lama-lama. Aku juga harus menyelsaikan maket Mr. Louise. Tapi jika maketku selesai aku janji akan membantumu menyelesaikan maketmu. Bye."
Sial! Iya jika maketmu selesai, jika tidak? Sama saja tidak menguntungkanku, batinku. Dengan enggan aku menyusun rangkaian maket di buku sketsa terlebih dahulu. Derita mahasiswa semester tengah. Tiba-tiba aku kehilangan kendali. Seakan-akan kantuk ini megambil alih panca indraku. Dan... "Oh, no!" Samar-samar aku mendengar suara terkejut seorang gadis. Setengah hati aku menolehkan kepala. Ternyata aku menyenggol cangkir kertas yang berisi cappucino gadis tersebut. Bodoh, aku benar-benar bodoh.
"I'm so sorry. I'll replace your cappucino," kataku sambil membersihkan bekas tumpahan cappucino di meja cafetaria.
"Nevermind. Aku bisa membelinya lagi. Oh, tunggu-tunggu. Aku mengenalmu! Kamu pasti Kevin Alexander kan? Backpacker yang beberapa waktu lalu pergi ke Vancouver dan berkeliling bersamaku?" Tiba-tiba gadis itu memancarkan wajah tersenyum. Iya, aku mengenal gadis ini. Pemandu profesional yang memanduku berkeliling Vancouver dengan sepeda beberapa waktu lalu. Dia Hana. Aku yakin dia adalah Hana. Senyum bulan sabitnya tidak bisa aku lupakan. Kekuatan sihir senyum bulan sabitnya selalu menghipnotisku.
"Iya, aku Kevin Alexander," jawabku dengan semangat karena kantukku tiba-tiba hilang entah kemana.
"I'm sure! Aku yakin itu pasti kamu! Bagaimana? Tebakanku pasti benar."
"Iya, dan kita bertemu lagi karena keteledoranku. Pertemuan pertama aku menabrakmu hingga jatuh. Pertemuan kedua aku menyenggol cappucino mu dan membuat kacau. Maafkan aku."
"Hahaha, kamu unik ya. Bagiku pertemuan-pertemuanku denganmu itu sangat unik. Rasa-rasanya aura magis berkeliaran saat kita bertemu." Kata-kata Hana, sungguh sangat, sangat mengejutkan sekaligus menenangkan.
"Kau bisa saja. Aku bukan penyihir atau pesulap yang punya sihir dan trik magis. Aku hanya mahasiswa jurusan arsitektur yang sedang membuat sketsa maket agar terlihat magis di mata dosenku," jawabku dengan nada datar.
"Kamu kuliah di sini? Ah benar-benar kebetulan! Aku juga mahasiswa Unversity of Oxford, hanya jurusanku berbeda dengan jurusanmu. Aku jurusan seni rupa kreatif dan desain. Sebenarnya dulu aku tidak mau masuk jurusan seperti ini. Aku bermimpi akan masuk jurusan perfilman, tapi papa ku terlalu percaya dengan guru konselingku di SMA, jadilah aku masuk jurusan ini karena kata guru konselingku aku punya bakat hebat di bidang ini. Ternyata benar. Sekarang aku tidak menyesal telah masuk jurusan ini. Orang-orang terdekatku selalu mengerti tentangku." Hana bercerita panjang sekali. Seakan-akan dia tidak menyisipkan jeda di setiap ceritanya.
"Ups, maaf. Kebiasaanku. Aku selalu seperti ini jika bertemu orang yang menyenangkan. Maafkan aku."
"Ah tidak apa. Eh, tunggu. Aku orang yang menyenangkan? Benarkah?" tanyaku.
"Tentu saja! Aku tidak akan cerita panjang lebar dengan orang yang kuanggap cuek dan jutek kan?"
Rasa kantukku semakin hilang karena Hana mengajakku mengobrol tentang segala sesuatu. Aku menyadari. Aku merasa sangat nyaman dan hangat ketika bersamanya.
To be continued...